Kamis, 06 Oktober 2011

Makalah

DAMPAK PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH SISWA SMP
(Sugiman dan Yaya S. Kusumah) 
Dalam Kurikulum 2006 disebutkan bahwa pendekatan pemecahan masalah merupakan focus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian.
            Menurut Hadi (2002: 33), proses matematisasi dan pengembangan model matematika dalam pendidikan matematika realistik (PMR) terkait erat dengan prosedur menyelesaikan soal pemecahan masalah. Keterkaitan tersebut adalah:

Urutan langkah pemecahan masalah
Proses dalam PMR
1. Masalah berdasar situasi real
2. Model real dari situasi semula
3. Bermatematika (mathematized)
4. Model matematika dari situasi real

Matematisasi adalah proses dari 2 menuju 3.
Pengembangan model dimulaidari 1 sampai dengan 4.        
Dengan demikian pendidikan matematika realistik memungkinkan digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematik.
          Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik (KPMM) yang dimiliki siswa. Salah satu upaya yang dicoba dilakukan adalah dengan meneliti dampak pendidikan matematika realistik terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP, khususnya di wilayah Kota Yogyakarta.

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
Berdasarkan pandangan matematika sebagai aktivitas manusia, dikembangkan empat prinsip dasar PMR, yakni:
a. penemuan kembali secara terbimbing (guided-reinvention);
b. proses matematisasi progresif (progressive mathematizing);
c. penggunaan fenomena didaktik (didactical phenomenology) sebagaimana yang
    digagas Freudenthal; dan
d. pengembangan model oleh siswa sendiri (self-developed model) (Gravemeijer,
    1994: 90-91).
             Empat prinsip PMR tersebut merupakan panduan dalam penyusunan bahan ajar berbasis PMR. Agar lebih mudah diimplementasikan di kelas keempat prinsip tersebut dijabarkan menjadi lima karakteristik PMR yang meliputi: (1) penggunaan konteks sebagai starting point pembelajaran; (2) pengembangan alat matematik untuk menuju matematika formal; (3) kontribusi siswa melalui free production dan refleksi; (4)
interaktivitas belajar dalam aktivitas sosial; dan (5) penjalinan (intertwining) (Streefland, 1990 dan Hadi, 2000).

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK
          Cara mengukur kemampuan pemecahan matematik pada siswa SMP dapat
dilakukan dengan memberikan soal uraian untuk diselesaikan secara tuntas. Siswa mengerjakan soal tersebut selengkap mungkin dan penilaiannya pun dilakukan secara komprehensif. Aspek-aspek yang dinilai meliputi: (1) pengetahuan matematika yang terdiri dari pengetahuan konseptual dan prosedural; (2) pengetahuan strategi pemecahan masalah; (3) komunikasi; dan (4) akurasi (Departemen Pendidikan Oregon
dan Illinois State Board of Education, 2009).

METODE PENELITIAN
          Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan model kelompok
kontrol non-ekuivalen. Populasi penelitian adalah siswa SMP yang berasal dari sekolah level rendah (C), sedang (B), dan tinggi (A) di wilayah Kota Yogyakarta. Penentuan level sekolah berdasarkan rata-rata nilai matematika yang diperoleh sekolah tersebut pada ujian nasional tahun 2008; level rendah jika rata-ratanya kurang dari 0,65, level sedang jika rata-ratanya antara 0,65 sampai 0,80, dan level tinggi jika rata-ratanya lebih dari 8,00. Pengambilan sampel penelitian dilakukan sebagai berikut. Pertama, tiga sekolah diambil secara acak dengan ketentuan satu sekolah dari sekolah level C, satu sekolah dari sekolah level B, dan satu sekolah dari sekolah level A. Kedua, dari masing-masing sekolah diambil satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Dengan demikian diperoleh 3 kelas eksperimen dan 3 kelas kontrol.
          Ketiga kelas eksperimen mendapat PMR dan ketiga kelas kontrol mendapat
pembelajaran biasa (PB) yang seluruhnya diajar oleh guru. Bahan ajar PMR yang digunakan di kelas eksperimen disusun oleh peneliti melalui proses validasi oleh penimbang ahli serta guru dan kemudian diujicobakan di kelas sedangkan bahan ajar PB yang digunakan di kelas kontrol disusun oleh guru. Implementasi PMR maupun PB dilakukan di kelas IX selama 3 bulan berdasarkan Kurikulum 2006. Dalam kurikulum tersebut, pemecahan masalah dijadikan sebagai salah satu sasaran pembelajaran matematika.
            Untuk mengukur peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik (KPMM) digunakan dua set tes KPMM yang setara yang masing-masing terdiri dari 8 soal. Satu set digunakan sebagai pretes dan satu set lainnya sebagai postes. Kesetaraan kedua set tes tersebut diuji dengan menggunakan expert judgments. Adapun reliabilitas instrumen KPMM dihitung dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach dan diperoleh sebesar 0,775 (tergolong sedang). Berdasarkan skor pretes dan postes dihitung peningkatan yang terjadi pada masing-masing siswa dengan menggunakan rumus normal gain (N-gain).
HASIL PENELITIAN
          Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dalam penelitian ini
dilihat dari besarnya gain ternormalisasi (N-gain). Berdasarkan Gambar 1 ditemukan bahwa N-gain KPMM keseluruhan siswa PMR lebih tinggi daripada N-gain KPMM keseluruhan siswa PB. Selain itu terlihat simpangan baku N-gain KPMM siswa PMR sedikit lebih rendah daripada simpangan baku N-gain KPMM siswa PB. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa PMR dalam memecahkan masalah matematik
lebih homogen.
                    
Gambar 1. Deskripsi N-Gain KPMM Siswa PMR dan PB
          Pengujian keunggulan PMR daripada PB dalam peningkatan KPMM
menggunakan uji-t. Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas univariat dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Z. Hasil uji normalitas adalah N-gain KPMM siswa PMR dan PB masing-masing berasal dari populasi yang berdistribusi normal dengan nilai Sig berturut-turut adalah 0,978 dan 0,062. Selanjutnya, pada uji kesamaan varians dengan tes Levene diperoleh nilai F=4,316 dengan Sig = 0,039. Karena nilai Sig tersebut kurang dari 0,05 berarti varians N-gain KPMM seluruh siswa PMR tidak sama dengan varians N-gain KPMM seluruh siswa PB. Untuk pasangan data yang homogen digunakan uji-t dengan asumsi varians sama (equal-variance t-test) sedangkan untuk pasangan data yang tidak homogeny   digunakan uji-t berbeda varians (unequal-variance t-test) (Widiarso, 2008). Oleh karenanya uji-t yang digunakan adalah uji-t tanpa asumsi kesamaan varians dan diperoleh thitung = 4,558 dengan df = 207,11 dan Sig(2-pihak) = 0,000. Menurut Widhiarso (2008) nilai Sig(1-pihak) = ½ Sig(2-pihak), berarti Sig(1-pihak) = 0,000. Selanjutnya diperoleh Sig(1-pihak) < 0,05 sehingga tolak H0 yang menyatakan μPMR = μPB. Dengan demikian ditemukan bahwa peningkatan KPMM siswa PMR lebih tinggi daripada peningkatan KPMM siswa PMR. Implikasi dari temuan ini adalah
pendidikan matematika realistik layak digunakan untuk menggantikan pembelajaranbiasa di SMP yang berada dalam wilayah Kota Yogyakarta dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik.
              Penelitian ini dilakukan pada tiga level sekolah, yakni sekolah level rendah (C), sedang (B), dan tinggi (A). Di bagian depan diperoleh temuan keunggulan PMR dalam meningkatkan KPMM sehingga memunculkan pertanyaan lanjutan, yakni ”Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik (KPMM) siswa PMR lebih tinggi daripada peningkatan KPMM siswa PB pada masing-masing level sekolah?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut digunakan uji-t sampel independen. Syarat normalitas univariat dari uji-t diuji dengan menggunakan tes Kolmogorov- Smirnov dan hasilnya syarat normalitas untuk uji-t pada pasangan-pasangan N-Gain
KPMM di sekolah level C, B, dan A masing-masing terpenuhi.
          Selanjutnya dilakukan uji-t sampel independen antara rata-rata N-gain yang
dicapai kelas PMR dan rata-rata N-gain yang dicapai kelas PB pada masing-masing terpenuhi level sekolah. Perhitungan pengujian uji-t dengan menggunakan SPSS dan hasil perhitungannya disajikanan pada table 1.


Tabel 1. Hasil Uji-t terhadap N-Gain KPMM berdasarkan Level Sekolah
Level
Sekolah
Kelas
Rata-rata
t
dk
Sig(1- pihak)
Kesimpulan
Rendah
(C)
PMR
0,385
4,404
70
0,000
Tolak Ho
PB
0,206
Sedang
(B)
PMR
0,408
2,779
66
0,0035
Tolak Ho
PB
0,295
Tinggi
(A)
PMR
0,522
1,870
74
0,0325
Tolak Ho
PB
0,416

          Dalam Tabel 1, pengujian komparasi rata-rata N-gain KPMM kelas PMR dan PB pada sekolah level C memberikan nilai thitung = 4,404 dengan Sig(1-pihak)=0,000. Karena nilai Sig(1-pihak) < 0,05, berarti rata-rata N-gain KPMM kelas PMR lebih tinggi daripada rata-rata N-gain KPMM kelas PB. Jadi di sekolah level C PMR lebih tinggi dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik daripada dengan menggunakan pembelajaran biasa (PB). Berdasarkan Tabel 1, H0 pada sekolah level B dan A ditolak sehingga pada kedua level sekolah tersebut berlaku peningkatan KPMM siswa PMR lebih tinggi daripada peningkatan KPMM siswa PB.
          Permasalahan lain dalam penelitian ini adalah ”Di antara sekolah level C, B, dan A, level manakah yang mengalami peningkatan KPMM paling tinggi sebagai akibat dari implementasi PMR?” Untuk menjawab pertanyaan ini digunakan Anava satu arah (One Way Anova). Syarat normalitas univariat untuk Anava telah diuji dengan Kolmogorov-Smirnov. Kemudian syarat homogenitas diuji dengan menggunakan tes Levene dan diperoleh nilai Fhitung = 1,084 dengan df1 = 2, df2 = 106, dan Sig = 0,342. Karena nilai Sig lebih besar dari 0,05, maka ketiga N-gain KPMM termasuk homogen. Ketiga N-Gain KPMM tersebut berasal dari kelas PMR di
sekolah level C, B, dan A. Dari pengujian di atas telah diperoleh persyaratan normalitas dan homogenitas uji Anava. Ringkasan hasil uji Anava satu arah disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Anava Satu Arah N-Gain KPMM Siswa PMR

Sum of
Squares
df
Mean
Square
F
Sig
Between Groups
Within Groups
Total
0,400
3,667
4,067
2
106
108
0,200
0,035
5,782
0.004

          Pada Tabel 2 di atas diperoleh nilai Fhitung = 5,782 dengan Sig = 0,004 (< 0,05) yang berarti H0 ditolak. Jadi terdapat pengaruh level kelas terhadap N-gain KKPM. Telah lebih lanjut adalah dengan melakukan tes post-hoc memakai Tukey’s HSD dan hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Tes Post-Hoc untuk N-Gain KPMM Siswa PMR
Berdasarkan Level Sekolah


Level selokah
Mean
Difference
Std.Error
Sig.
Tukey HSD
A
B
0,1141*
0,0436
0,027
A
C
0,1369*
0,0433
0,006
B
C
0,0228
0,0442
0,864

Berdasarkan uji post-hoc pada Tabel 3 di atas ditemukan hal-hal berikut.
a.    Antara sekolah level A dan level B didapat Sig = 0,027. Artinya terdapat perbedaan N-gain yang signifikan pada kedua level sekolah tersebut.
b.    Antara sekolah level A dan level C didapat Sig = 0,006. Artinya terdapat perbedaan N-gain yang sangat signifikan pada kedua level sekolah tersebut.
c.    Antara sekolah level B dan level C didapat Sig = 0,864. Artinya tidak terdapat
perbedaan N-gain pada kedua level sekolah tersebut.
          Dengan demikian N-gain KPMM kelas PMR pada sekolah level A lebih tinggi
daripada N-gain pada level C dan B. Jadi dapat disimpulkan bahwa PMR paling sesuai diimplementasikan pada sekolah level tinggi, dalam konteks peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik.
          Untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan
level sekolah dalam peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik
digunakan Anava dua arah. Interaksi tersebut disajikan pada Gambar 2.

1 komentar: